Minus The Value of The Indonesia Economy

Oleh: Viozwart
Jakarta, 20 September 2020
 

Siapa yang tidak tahu perkembangan perekonomian Indonesia? Jelas seluruh penduduk Indonesia mengetahui apa yang terjadi. 

Karena dampak yang mereka rasakan menjadi beban pertama dalam dunia bertahan hidup. Dari masa perekonomian orde lama yang terlewati, krisis moneter orde baru, sampai paceklik kembali di era Reformasi ini. 

Sejarah mencatat bahwa Indonesia sebagai Negara berkembang dengan nilai nominal mata uang yang dikatakan masuk sebagai kategori 'rendah' dibandingkan dengan Negara-negara maju pada umumnya. 

Pertanyaan besar bagi kita mengapa tanah air Indonesia tercinta dikatakan sebagai negri dengan catatan economic value minus category?

Berjejer data sensus penduduk bagi rakyat Indonesia dan tentu saja tidak hanya sepuluh atau dua puluh orang saja tetapi bermiliyar-miliyar orang yang telah tinggal dan terdata menjadi penduduk republik Indonesia ini. Populasi yang begitu besar rasanya cukup untuk menjadi bahan sebagai penaikan data ekonomi Indonesia. Jikalah mengacu kepada kuantitas penduduk, mungkin saja Indonesia bisa meraih posisi untuk bisa maju dalam kategori Negara terkaya di dunia. Namun, mengapa hal itu rasanya hanya menjadi sebuah angan belaka? Padahal kuantitas SDM pun sudah terbilang layak karena kuantitas yang banyak dari populasi penduduk yang terlampau padat. 

Kita lihat kepada sumber pokok seperti bahan SDA yang melimpah ruah dari jajaran tanah Indonesia seperi batu bara, emas, perak, mutiara dan lain sebagainya. Menjadi pertanyaan besar mengapa Indonesia sampai saat ini belum bisa memperoleh hasil dari apa yang dihasilkan.

Jika dihitung-hitung, mungkin Indonesia akan menjadi penanam saham terbesar "kalaulah mampu mengolah bahan-bahan" yang dihasilkan atau dengan lumrahnya siap bersaing dengan produk dari dalam negri.

Misalnya saja kayu jati, di Indonesia jati berceceran dari satu ke jenis yang lainnya. Namun entah bagaimana jadinya pabrik-pabrik pengolah jati berada besar dan maju seperti di Negara semacam Inggris, Jerman dan lain sebagainya yang kita ketahui tanah nya saja dikatakan sulit untuk menghasilkan pohon tersebut. 

Alhasil, Negara mereka mendapat perolehan nilai jual yang tinggi dengan keuntungan yang didapatkan. sedangkan Indonesia? Apa yang di dapatkan? kecipratan nominal pun tidak, padahal pohon tersebut dijaga dan dipelihara oleh kasih sayang bumiputera. Mengenaskan bukan, seketika hak-hak yang seharus nya kita miliki dikuasai Negara yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali teknologi mutakhir dari perkembangan zaman. 

Kalau saja kita bisa berpikir 'mengolah', mungkin saat ini kita menjadi pemilik aset terbesar di dunia. Hal tersebut tentu saja menjadi bukti bahwa Indonesia mampu membuka pintu persaingan dalam percaturan dunia. Membuka cakrawala dunia dari persaingan negri yang dikenal sebagai mata uang dengan nominal 'rendah' dan bukan apa-apa.

Bayangkan saja jika kita berhasil mengolah apapun SDA dalam negri menjadi produk-produk lokal dan internasional. Mungkin saja saat ini penduduk kita sekarang tidak ada yang tidur diemperan toko atau dibawah kolong jembatan ataupun yang menengadah tangan dijalan untuk meminta-minta. Mereka mungkin bebas dari jeratan kemiskinan, bersekolah bebas, tertawa menikmati masa-masa kecilnya bahagia,  bukan malah sebaliknya menjadi tulang punggung di usia muda atau menjadi preman digang-gang sempit dan tentunya hal itu bukanlah kemauan NKRI ini bukan. 

Dengan ini bahwasannya ekonomi Indonesia terbilang minus. Mengapa demikian? Karena sumber SDA dan SDM sudah memenuhi namun penggunaan dalam pengolahan tidak masuk dalam kategori berhasil sebab tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok dan finansial bagi rakyat. Sejalan dengan perkembangan perekonomian Negara yang terbilang dalam kategori 'minus' maka Negara Indonesia haruslah merevolusi tatanan ekonomi supaya rakyat bisa tenang makan nasi bukan kenyang makan hati. 

Salam manis untuk NKRI.

Komentar

Popular Posts

Trilogi Manusia dalam Berfikir