'The Miracle '




oleh: Ingrit Dilla Farizna 

 

Ketololan dari fatamorgana begitu tidak sopan menyeret sendal lusuhnya di lorong asrama tua yang kita sendiri saja tidak tahu sebenarnya seberapa luaskan lorong-lorong  yang belum kita tapaki. Begitu juga manusia dengan segala omong kosongnya dalam segala kegagalan; mencerca tuhan, menghina keadaan, dan berputus asa. Merasa paling jatuh ke dalam dunia gelap, padahal ia sendiri hanya sekedar menutup mata. Merasa paling kehausan diantara samudra dan sungai-sungai yang mengaliri berliter-liter air. Manusia dengan segala kehinaannya, merasa dewa padahal berasal dari tetesan-tetesan mani persetubuhan. Merasa paling tuhan, padahal menjadi manusia saja belum mampu. Begitulah aku, insan yang memaknai kehidupan dengan penuhnya kisah resah pening-pening kepala orang lain. 

Mendengarkan orang lain cerita sana sini, sambil ngopi dan mendengarkan bunyi kriuk si kripik singkong dengan sendagurau yang semakin malam semakin banyak judul; pasangan, kehidupan yang goblok, atau sex yang bikin candu di jam 12:00 malam. Terlihat kejam memang jika semua itu aku sebut—sebagai lingkaran setan, dan Kalau saja aku bisa memilih keluar dari lingkaran itu, mungkin aku memilih untuk lebih lama berdiam menikmati kopi dengan solusi yang buntu. Bukan berarti aku tidak mencari ketenangan untuk diri sendiri, sedikit menjadi pendengar mungkin saja bisa memperbaiki jiwa seseorang—lebih tepatnya, bagaimana pun aku meminta keluar, sudah kodratinya manusia tidak akan pernah lepas dari perkara sosial termasuk itu semua di dalamnya. Setidaknya aku menjadi berguna, meskipun tidak bisa mengatasi intuisi pikiran sendiri, lenih baik menjadi manusia tanpa suara dan asik mendengarkan orang lain bercerita.

Malam-malam seperti biasa di dalam ruangan sumpek yang lembab, aku dengan segala pojokan-pojokan dari teman-teman ku mengenai fakta ini dan itu dalam memaknai kehidupan. cerita itu dimulai dari celetukan,“kau enak sudah keterima di universitas yang kau inginkan.” “sedangkan aku gagal lagi”, “sedangkan aku gak lolos” dan bla bla bla. 

Ucapan bajingan itu tidak habis-habis selalu mewarnai rasa penatku. Suatu waktu di malam yang suntuk aku larut dalam pikiran-pikiran liar, seperti pot bunga yang sedang menunggu tumbuh, tetapi ia tumbuh dengan beberapa batang daun yang tidak sejenis. Fantasi ku semakin menjadi-jadi kala jarum jam menunjukan pukul dua dini hari, mencerca diri sendiri atas kebinalan keluh kesah dari mulut orang lain. Dan berhenti pada kaliamat “Anjing, lo gak ngerti rasanya berjuang!”. 

Kaki ku memilih beranjak membuat teh hangat dengan gula se-ujung sendok. Menyeruput kesunyian diantara kelopak mata yang menolak untuk terpejam. Menikmati dengkuran teman dengan distraksi rekaman alam di malam hari. mungkin jika aku adalah Einsten atau Isaac Newton malam itu menjadi pertarunganku dengan rumus-rumus yang menjadi karya untuk ku pelajari hari ini. Sayangnya, aku hanya duduk diatas ranjang kayu dengan alam pikiran yang bergemuruh tak karuan—bahkan berak saja lebih berguna daripada yang ku lakukan malam itu.

Semalam suntuk tidak tidur tak surut membuatku jera dalam melakukannya—meskipun paginya harus berangkat ke sekolah, tentu saja tidak sekali dua kali aku melakukannya, mungkin sepuluh atau seratus kali, bahkah menjadi rutinitas selama aku masih menjadi bagian di lorong asrama tua itu. Menikmati malam dengan kesendirian dan besoknya tidur tidak ikut kegiatan, begitulah kehidupan aku yang kata orang serba enak. Enak melakukan apa yang ku perbuat selalu diberi keberuntungan—padahal tidak sama sekali. Mempercayai keberentungan saja tidak, bagaimana aku bisa mendapatkan sebuah keberuntungan. 

Mungkin kalian bertanya-tanya bagaimana aku menghabiskan waktu ketika terjaga di malam yang seorang pun saja berat untuk membuka mata. tentu saja bukan lain yang aku lakukan hanya sekedar membaca buku, mengingat omelan guru disaat pelajaran, atau mengulang kesalahan karena tidak bisa menyeimbangankan susunan pulpen ketika bosan mendengar pelajaran. Tidak seperti kawan ku yang tiap hari belajar apalagi pas ulangan—ketar ketir cari jawaban, menyamakan catatan di buku milik teman, dan aku sendiri yang asik tidur atau membaca buku Sex karya Simone de Beauvoir. Kadangkala aku memperhatikan bagaimana coretan teman ku bisa seindah telenovela, dibandingkan dengan buku catatan ku yang tidak jauh isinya dari sampah sisa-sisa kebingungan. Tidak ada tulisan cinta, tidak ada komentar untuk manusia, riwayat diri sendiri saja aku tak punya. Aneh, Bagaimana manusia bisa lebih kufur daripada fananya kehidupan ku. 

Jika dibanding kan dengan kehidupan ku yang berantakan, tentu saja kawan-kawan ku lah yang sebernarnya layak mendapatkan keberuntungan. otak yang encer, nilai yang sempurna, dukungan keluarga, perjalanan indah kisah cinta dan berbagai kesempatan lainnya. sedangkan aku? Berbodo amat dengan itu semua, yang ku bisa hanya menyamakan gaya hidup seperti orang-orang pintar jaman dulu; yang katanya tidur hanya beberapa jam dan sisanya terjaga untuk imajinasi-imajinasi yang gak penting-penting amat. entah aku yang mengada-ada.

mungkin bisa dikatakan aneh bagaimana bisa aku berturut-turut menghabiskan malam panjang dengan kesendirian, penuh kekhusuan dan menikmati setiap gerakan yang terjadi di malam hari seperti manusia yang menikmati manisnya bercinta. Mungkin saja benar bahwa aku sedang asik bersenggama dengan segala penat, menikmati aroma hangat dari dekapan air teh yang panas, dan bergidik merinding saat mendengar rayuan pikiran dikepala.

Akan tetapi berkat malam-malam yang suntuk dan aku tidak tidur di dalamnya, aku menyadari bahwa memaknai takdir tidak semudah membolak-balik telapak tangan. Hari-hari berlalu, dengan giliran keberhasilan setiap teman, notifikasi hp ku dibuat gila dengan segala riuh ucapan selamat atas keberhasilan atau pujian-pujian kepada Tuhan yang tiba-tiba ramai distatuskan di jejaring media sosial—Aku turut senang dengan itu semua. aku bukan lagi manusia yang disibukan dengan  peran pendengar cerita dari orang yang ku kenal. Tetapi memaknai bagaimana Tuhan bisa dicerca hina kapan saja waktu yang di dalamnya terdapat ketidaksabaran manusia. 

Aku menganggap bahwa setiap manusia sudah membawa miracle nya sendiri untuk bisa layak berbahagia dan menikmati kehidupan. Tentu bagi siapa pun, tidak memandang si gagal atau si beruntung, karena orang gila sekalipun mempunyai miracle nya sendiri dalam bertahan hidup.

Ia (miracle) jatuh kepada manusia-manusia yang sudah keras berusaha dalam sebuah penantian. Mungkin jika kita melihat si A hari ini mendapatkan hasil memuaskan, sudah pasti dia telah merasakan pahitnya perjuangan dan lelahnya penantian panjang di masa lalu untuk hasil hari ini. Begitu juga si B yang masih senang dalam rutinitas mengeluh karena pencapaiannya yang tidak memuaskan dan terus gagal, padahal usahanya belum seberapa untuk dikatakan layak menjadi seorang pemenang, atau mungkin baru memulai tahap percobaan. Semua bukan masalah “beruntung” tetapi selama apa kita bisa tekun dalam penantian yang sewaktu-waktu bisa menjadi kejenuhan yang luar biasa.

aku menatap cangkir yang berisikan air teh dan bercermin di dalamnya. merancaukan syair cinta pada buih-buihnya, selanjutnya meludahi isi cangkir dan memaki kehidupan yang brengsek dengan banyak kosa kata. Musik beralun nada 80’an dan tinta hitam asik menuliskan diksi-diksi dari buah simalakama. Di penghujung kegiatan nokturnal ku, tiba-tiba,

“kau tidak tidur lagi, cepatlah tidur! musik mu dan bau teh mu mengganggu tidur ku.”

"iya sebentar lagi" sahutku.

Begitulah teman ku menghentikan lamunan ku di setiap malam. Setelahnya azan subuh berkumandang yang ku tandai sebagai alarm pengingat bahwa sudah waktunya aku beristirahat.

Komentar

Popular Posts

Trilogi Manusia dalam Berfikir